SOLOPOS.COM - Ilustrasi sampah sisa makanan. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO– Dalam sehari, sampah pangan atau kelebihan pangan yang terbuang sia-sia di Solo mencapai 142,3 ton. Komitmen Pemkot Solo untuk mewujudkan Kota Cerdas Pangan atau Food Smart City sejak 2020 perlu dipertanyakan.

Dikutip dari surakarta.go.id, Solo menjadi salah satu dari dua kota di Indonesia yang menandatangani Pakta Milan pada November 2020. Pakta atau perjanjian tersebut intinya adalah komitmen untuk mewujudkan sistem pangan berkelanjutan yang inklusif, tangguh, aman dan beragam bagi setiap kota yang tergabung di dalamnya.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Adapun Pakta Milan tersebut memiliki 6 pilar utama, yakni tata kelola, pola makan dan gizi berkelanjutan, keadilan sosial dan ekonomi, produksi pangan, pasokan dan distribusi pangan, serta sampah pangan.

Dengan jumlah sampah pangan di Solo yang tinggi, artinya pilar keenam Pakta Milan belum bisa dijalankan maksimal oleh Pemkot Solo.

Direktur Program Yayasan Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti, menilai salah satu sebab tingginya sampah pangan di Solo adalah karena belum adanya regulasi atau peraturan tentang tata kelola pangan berlebih.

Dia mencontohkan dengan memberikan tanggung jawab bagi pelaku bisnis sektor pangan agar bisa mengelola pangan berlebihnya, misalnya dengan menggandeng komunitas pangan untuk pengolahan atau menyalurkan sisa pangan ke pihak yang membutuhkan.

“Nanti kalau mereka (pelaku bisnis pangan) sudah mampu mengelola sampah dengan baik Pemkot juga perlu memberikan reward. Seperti insentif pengurangan pajak,” kata dia (20/6/2024).

Menurut dia, dengan adanya insentif pengurangan pajak bagi pelaku bisnis di bidang pangan, yakni Horeka (hotel, restoran, dan kafe) akan mengurangi beban anggaran Pemkot untuk mengelola sampah organik yang biayanya tidak murah. Mengingat timbulan sampah pangan atau organik dari total sampah di Solo mencapai 60 persen.

Titik menerangkan pada riset yang dilakukan lembaganya pada 2021, ditemukan bahwa sampah pangan atau makanan terbuang tiap satu keluarga di Solo 0,73 kilogram per harinya. Artinya bila jumlah keluarga di Solo 194.889 (Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Solo, semester 2 2021) maka potensi sampah pangan mencapai 142,3 ton atau bahkan lebih.

Dengan jumlah sampah pangan yang begitu besar, kata dia, maka dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat cukup signifikan. Mulai dari meningkatkan emisi gas rumah kaca karena produksi gas metana berlebih, rentan terjadi ledakan sampah di tempat pembuangan akhir, hingga yang paling membahayakan bila terus dibiarkan adalah terjadi kelangkaan pangan.

“Oleh karenanya kami mendorong Pemkot Solo untuk membentuk lembaga profesional yang khusus menangani soal sampah pangan atau food losses. Agar persoalan pangan berlebih ini bisa segera diatasi,” terang dia.

Pihaknya melalui Gita Pertiwi juga terus berkontribusi untuk menekan jumlah sampah pangan di Solo. Mulai dari menggalakan edukasi kepada masyarakat untuk menyetop pemborosan pangan hingga membuat program Carefood atau penyelamatan pangan dengan menggandeng pelaku bisnis usaha pangan.

“Kami melalui Carefood sudah menggandeng sejumlah perusahaan pembuat roti, hotel, dan katering untuk kita bantu penyaluran pangan sisa yang masih laik milik mereka kepada pihak yang membutuhkan. Kami juga sudah punya etalase pangan yang kita isi dengan pangan laik makan dan bisa diambil secara gratis oleh masyarakat. Selain juga menyalurkannya ke panti ODGJ, posyandu lansia, dan lembaga lain yang membutuhkan,” jelas dia.

Ditemui secara terpisah, Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (Dispangtan) Solo, Yeti Widayati, tidak menampik bahwa di Solo jumlah sampah pangan atau food losses-nya tergolong tinggi. Dia menilai bahwa ada sejumlah faktor yang menyebabkan hal tersebut.

“Faktor pertama adalah soal sampah pangan bukan menjadi prioritas Pemkot Solo saat ini. Sehingga berimplikasi pada minimnya anggaran yang dialokasikan untuk mengentaskan persoalan tersebut,” kata dia, Kamis (20/6/2024).

Yeti menambahkan bahwa sekalipun bisa melakukan program penyelamatan pangan berlebih dari berbagai sektor bisnis pangan di Solo membutuhkan biaya yang tidak murah. Mulai dari untuk menggaji SDM yang jumlah kebutuhannya banyak hingga mengadakan mobil pengangkutnya yang juga perlu biaya lagi.

Namun begitu, di tengah keterbatasan saat ini pihaknya memfokuskan untuk terus menggeber edukasi penghentian pemborosan makanan pada masyarakat dari segala lapisan.

Pihaknya juga sudah menggandeng sejumlah komunitas seperti Gita Pertiwi untuk bekerja sama dalam hal pengelolaan sampah pangan berlebih.

“Selain itu kami juga sudah bekerja sama dengan Hotel Alila terkait pengelolaan sampah pangan berlebih. Di mana sampah pangan hotel tersebut kami salurkan ke peternak maggot untuk dimanfaatkan,” jelas dia.

Sementara itu, Pengurus Perkumpulan Penyelenggara Jasa Boga Indonesia (PPJI) Solo, Asmiatiningsih, juga mengakui bahwa pangan berlebih atau pangan mubazir di Solo sangat tinggi. Menurut dia, hal ini disebabkan karena belum adanya aturan yang jelas soal penyaluran pangan berlebih.

“Sebagian besar pengusaha jasa boga di Solo juga sudah menyadari soal itu (pangan berlebih). Namun kami bingung mau disalurkan ke mana dan takut juga apabila ternyata makanan yang kami salurkan tidak laik,soalnya kalau kejadian nama baik kita bisa kena” kata dia.

Atiek, sapaanya, menambahkan, berbeda halnya ketika sudah ada aturan yang jelas misalnya pihak-pihak yang berhak disasar siapa saja. Kemudian ada SOP atau standar khusus soal penyaluran dan penentuan kelaikan makanan yang dibagikan.

Pemilik Katering Dahar Eco tersebut akhirnya memilih menyiasasti hal tersebut dengan menggandeng Gita Pertiwi untuk menyalurkan pangan berlebih katering miliknya. Dia pun juga aktif mengedukasi kepada pengusaha lain dan termasuk pelanggan kateringanya untuk menghentikan membuang-buang makanan laik konsumsi.

“Kami dan Gita Pertiwi sudah punya SOP yang ketat dari awal bekerja sama. Jadi bisa kami pastikan makanan kelebihan katering kami yang disalurkan Carefood Gita Pertiwi dalam kondisi laik konsumsi dan selalu dijaga kehigienisannya,” terang dia.



Dia berharap ke depan kesadaran memanfaatkan pangan berlebih tidak hanya dijalankan oleh katering miliknya saja. Melainkan bisa diikuti oleh katering atau pengusaha boga lain di Solo.

“Pangan terbuang itu eman-eman sekali Mas, makanya ke depan harapannya katering atau pengusaha boga lainnya bisa mengikuti jejak kami untuk memanfaatkan sisa pangan dengan diberikan kepada pihak yang membutuhkan. Entah bareng Gita Pertiwi atau lembaga lainnya,” jelas dia.

Diketahui, di Indonesia setiap tahun ada 23 juta-48 juta ton makanan terbuang menjadi sampah, dengan kerugian ekonomi mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun (4-5 persen PDB. Dan apabila makanan tersebut bisa diselamatkan dan lebih berhemat pangan akan dapat memberi makan 61 juta-125 juta orang Indonesia.

Angka tersebut membuat Indonesia berada di peringkat keempat sebagai negara dengan pangan berlebih terbanyak di dunia (mubazir makanan) versi Statista. Sedangkan peringkat 1-3 diduduki China, India, dan Nigeria.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya