SOLOPOS.COM - Pengunjung menikmati kopi di kedai Ndalem Kopi, Desa Tubokarto, Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, Minggu (2/6/2024). Kedai-kedai kopi mulai merambah perdesaan Wonogiri beberapa tahun terakhir. (Solopos/Muhammad Diky Praditia).

Solopos.com, WONOGIRIKedai kopi yang jamak dijumpai di wilayah urban, kini sudah mulai merambah ke wilayah perdesaan di Kabupaten Wonogiri. Pelan tapi pasti, kedai-kedai kopi yang tak menjual produk kopi sasetan ini terus muncul di kecamatan-kecamatan.

Pemilik Ambara Kopi di Kecamatan Slogohimo, Wonogiri, Rifai Nurrohaman, 27, mengaku mendirikan usaha kedai kopi sejak akhir 2021. Ada banyak tantangan baginya dalam menjalankan usaha warung kopi di perdesaan.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Saat awal-awal buka kedai, bahkan sampai sekarang, banyak orang desa yang kaget dengan harga kopi yang dia jual paling murah sekitar Rp10.000/gelas. Hal itu bisa dipahami karena selama ini kebanyakan masyarakat perdesaan mengonsumsi kopi pabrikasi atau kopi sasetan.

Harga kopi sasetan kurang dari Rp5.000/saset. Perlu waktu lama bagi dia untuk mengenalkan bahwa produk kopi yang dia jual berbeda dengan kopi sasetan. Pelan-pelan mereka mengenal dan tahu perbedaan kualitas kopi yang dia jual dengan kopi sasetan.

”Harga kopi Rp10.000-Rp13.000 per gelas itu dianggap terlalu mahal bagi masyarakat sini. Tetapi mereka yang orang sini dan pernah ke luar atau merantau malah menganggap harga kopi yang saya jual itu murah,” kata Rifai saat dihubungi Solopos.com, Selasa (18/6/2024).

Di sisi lain, lanjut Rifai, masyarakat desa di Kecamatan Slogohimo, Wonogiri, belum terbiasa membeli kopi di kedai-kedai kopi. Akibatnya mereka justru minder jika ingin membeli kopi di kedai kopi.

Selama ini, pelanggan Ambara Kopi malah banyak dari luar kecamatan. Mayoritas mereka juga biasanya sudah tahu atau setidaknya pernah membeli kopi di luar daerah, sehingga tidak kaget dengan harga kopi yang dia jual.

Segmentasi pasar yang menjadi target Rifai kalangan muda usia 17 tahun-25 tahun. Dengan target pasar itu, diharapkan mereka tahu produk kopi yang dijual memang layak dengan harga jualnya. Akan tetapi, ternyata beberapa kalangan muda juga menganggap harga kopinya itu masih mahal.

Kendati begitu, Rifai mengatakan bisnisnya masih bisa memberikan laba meski belum banyak. Dalam sehari rata-rata ada 30-40 pengunjung di kedainya. Itu pun tidak semua pengunjung membeli kopi, melainkan minuman perasa lainnya seperti cokelat dan matcha.

Pelanggan Kalangan Muda

Dia juga menyediakan menu makanan. ”Menu nonkopi itu kadang yang jadi back up-nya. Terus saya juga menyediakan kopi tubruk seharga Rp5.000/gelas. Menu itu untuk menyiasati orang yang suka ngopi tetapi menganggap menu kopi lainnya mahal,” ujar dia.

Pemilik Ndalem Kopi di Desa Tubokarto, Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, Aprilianto Dwi, 26, juga menyampaikan banyak orang-orang desa, khususnya yang sudah berusia lebih dari 30 justru minder ketika ingin berkunjung di kedai kopi miliknya.

Mereka yang membeli kopi biasanya kalangan muda usia 20-an tahun. “Kalau di sini, sebenarnya harga tidak menjadi masalah [bagi pelanggan],” kata Dwi saat dihubungi Solopos.com, Selasa (18/6/2024).

Hanya, kata dia, budaya minum kopi di perdesaan Pracimantoro memang belum kental. Hal ini menjadi tantangan baginya untuk mengenalkan kopi di masyarakat.

Hal yang sama diungkapkan pemilik Street Kopi di Kecamatan Jatipurno, Desta. Sebelumnya dia membuka kedai kopi di area perdesaan Slogohimo. Namun, usaha itu tidak terlalu berjalan mulus.

Dia kemudian mengganti cara berjualan kopi dengan cara berkeliling ke tempat-tempat anak muda berkumpul atau nongkrong. Cara itu justru lebih menguntungkan dibandingkan saat dia hanya menjual kopi di kedai.

”Masalahnya masyarakat desa itu belum tahu betul dengan kopi yang kami dijual. Mereka menganggap kopi itu ya seperti kopi sasetan itu. Sementara kopi yang kami jual itu kan kopi murni,” ujarnya.

Pegiat sekaligus pemilik usaha roastery kopi Wonogirich, Yosep Bagus Adi, menyampaikan beberapa tahun belakang ini, kedai-kedai kopi terus bertumbuh di daerah perdesaan di Wonogiri. Ada kedai yang tidak lagi buka, tetapi lebih banyak yang bertahan dan tumbuh kedai-kedai baru.

Hal itu terbukti dari permintaan kopi yang dia produksi terus meningkat. Banyak permintaan itu justru dari kedai-kedai kopi di perdesaan. “Memang, yang menjadi kendala mereka itu mengenalkan kopi ke masyarakat. Itu pasti lebih sulit dibandingkan kedai-kedai yang di perkotaan,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya