SOLOPOS.COM - Ilustrasi petani di Sragen. (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN—Kemiskinan ekstrem di Kabupaten Sragen menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh siapa pun pemimpinnya. Jumlah warga miskin yang masuk Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) di Sragen terus bertambah pada setiap tahunnya.

Data di 2022 jumlah keluarga miskin di P3KE sebanyak 91.476 keluarga meningkat menjadi 131.683 keluarga berdasarkan hasil pemutakhiran data per Juni 2023.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Data tersebut ternyata naik lagi di 2024 menjadi 136.194 keluarga. Bila melihat pekerjaan dari para keluarga miskin yang masuk P3KE tersebut ternyata kontribusi kemiskinan ekstrem paling besar dari petani.

Data tersebut diungkapkan Kabid Pemerintahan Pembangunan Manusia dan Kewilayahan Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) Sragen, Dwi Cahyani, kepada Solopos.com, Minggu (23/6/2024).

Berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) Sragen No. 27/2023 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Sragen 2024, kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Jumlah penduduk miskin ekstrem pada 2022 mencapai 358.435 jiwa atau 91.476 keluarga. Berdasarkan karakteristiknya, 7,37% keluarga di antaranya berjenis kelamin perempuan dan sebagian besar keluarga miskin ekstrem di Sragen bekerja sebagai petani.

Bahkan kepala keluarga miskin ekstrem yang tidak/belum bekerja mencapai 3,31%. Kalau dilihat dari tingkat pendidikannya, 52,21% kepala keluarga miskin tidak berpendidikan wajib belajar sembilan tahun dan 38,41% tidak tamat sekolah dasar (SD) sederajat.

“Data kemiskinan ekstrem tersebut diambil dari data Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan atau Kemenko PMK. Data dalam P3KE yang dimutakhirkan pada Juni 2023, keluarga miskin ekstrem di Sragen sebanyak 131.683 keluarga atau 485.908 jiwa. Data tersebut lebih banyak dari DTKS [Data Terpadu Kesejahteraan Sosial] yang hanya 130.871 keluarga atau 390.843 jiwa,” jelas Dwi Cahyani.

Dia menyampaikan data di 2024 lebih banyak lagi, yakni mencapai 136.194 keluarga. Dia membenarkan datanya terus bertambah setiap tahun karena cakupan yang harus ditangani bertambah.

“Di 2024 jumlah individunya lebih sedikit tetapi jumlah keluarganya lebih banyak. Pekerjaan petani memang paling banyak. Di 2024, kepala keluarga dengan pekerjaan petani mencapai 50.900 keluarga. Padahal di 2022 baru 31.000 keluarga,” jelasnya.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno, menyampaikan data kemiskinan ekstrem di Sragen yang didominasi dari kelangan petani itu menunjukkan bahwa pemerintah harus semakin memperhatikan petani.

Dia menyampaikan petani di Sragen itu ada petani penggarap, petani penyewa, petani pemilik lahan. Suratno menyampaikan persoalan petani di Sragen belum selesai sampai hari ini.

“Masalah di hulu, petani dihadapkan pada rendahnya alokasi pupuk bersubsidi. Bahkan pada 2024 ini turun sampai 40%. Belum lagi harga pestisida yang mahal sehingga biaya produksi di tingkat petani tinggi. Di wilayah hilir, petani belum diuntungkan dengan harga gabah kering panen (GKP) yang tinggi karena biaya produksinya juga tinggi. Harga GKP sekarang mencapai Rp6.700 per kg. Harga GKP itu bagus karena di atas Rp6.500 per kg tetapi kalau dikonversi terhadap pendapatan petani terhitung masih di bawah upah minimum kabupaten (UMK),” jelas Suratno.

Dia menyebut pendapatan bersih petani itu per patok itu Rp3 juta dan harus menunggu empat bulan. Kalau pendapatan bersih itu dibagi empat bulan, kata dia, maka pendapatan petani di bawah Rp1 juta per bulan.

Atas dasar itulah, Suratno meminta petani jangan dijadikan objek tetapi harus menjadi subjek. Dia mendorong munculnya korporasi bagi petani dan berkolaborasi dengan pemerintah.

“Pemerintah harus berpihak ke petani dengan memberikan perhatian tentang pupuk bersubsidi, pestisida, upah tenaga, dan seterusnya sehingga menekan biaya produksi petani. Para petani ini harus diberdayakan bukan dibiarkan hidup sendiri. Kalau petani berdaya maka kesejahteraan mereka meningkat dan kemiskinan ekstrem bisa berkurang,” jelas dia.

Suratno menerangkan Sragen sudah saatnya memiliki pabrik penggilingan gabah besar yang produknya dapat dibeli oleh pegawai negeri sipil (PNS) dan dapat dijual badan usaha milik daerah (BUMD).

Dia mengungkapkan perdagangan gabah di Sragen sekarang masih liar karena banyak tengkulak luar Sragen yang masuk ke Sragen. Mereka ini datang dari Banyuwangi, Grobogan, Demak, sampai Indramayu.

“Kalau gabah keluar Sragen maka sekam, bekatul, hingga menirnya tidak dapat dimanfaatkan warga Sragen. Bahkan beras di Sragen pun didatangkan dari luar Sragen,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya