SOLOPOS.COM - Pemain Teater Hi asal Tegal, Tutuko Maulida dan Azhar Rifandi mementaskan Rasuk Raga yang disutradarai oleh Rias Viri di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kentingan, Jebres, Kota Solo, Senin (25/6/2024) malam. Pentas itu merupakan adaptasi dari naskah Hari Gentayangan Nasional karya Idnas Aral, salah seorang seniman dari Kota Solo. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Dua pria yang cerewet itu ngedumel menggunakan Bahasa Jawa dialek Tegal. Ngedumel tentang apapun, soal barang-barang kebutuhan pokok yang mahal, susahnya cari kerja, sampai susahnya hidup. 

Memancing ikan menjadi selingan sekaligus hiburan ketika hidup dua pemuda itu kian tidak jelas. Nun, di belahan bumi Indonesia yang lain, kata mereka, ada juga kehidupan yang serba mewah.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

“Pejabat podo tuku barang-barang mewah, laa kita kerja susah,” kata pemuda itu dengan Bahasa Jawa dialek Tegal. “Profesi kita itu ditentukan oleh profesi bapak kita, misal bapaknya dulu Presiden, anaknya ya sekarang jadi Presiden, laa bapak kita bukan siapa-siapa,” kata pemuda lain.

Gelagat mereka malah menjadi lucu. Siapapun yang mendengar keluhan mereka hampir pasti tertawa sekaligus kasihan. Dua pemuda itu menggambarkan keluguan yang getir tentang kehidupan orang udik yang susah dan kepayahan.

Makin apes lagi, pada malam itu, mereka ternyata memancing di sebuah tempat yang angker, tempat para arwah pejuang di masa lalu gentayangan. Tubuh mereka terasa aneh, gelagat mereka yang lugu dan lucu berubah menjadi tegas layaknya prajurit tempur.

Ternyata mereka kerasukan arwah seorang pejuang kemerdekaan yang mati di medan perang. Jenderal dan Sersan, dua arwah itu melihat kembali kondisi negeri yang sudah merdeka. Kondisi negeri yang mereka impikan, sebab sebelum merkdeka dua pejuang itu keburu dijemput maut.

Sang Jenderal meneropong. Memantau dari kejauhan bagaimana perkembangan negerinya. Tercengan bukan main. Jenderal dan Sersan keheranan. Banyak yang berubah. Negeri yang turut mereka perjuangkan itu sedikit berbeda dari angan-angannya dulu.

 “Meski di negeri kita sendiri, tapi aku sering dengar dari malaikat pencabut nyawa, bahwa negeri ini telah banyak berubah,” kata Jenderal. “Negeri ini memang benar-benar subur, pohon-pohon bisa tumbuh dengan begitu besar,” kata Jenderal. 

“Maaf Jenderal itu bukan pohon, itu mall dan hotel,” Sersan menyela.

Sersan juga semakin keheranan. Dia memantau lagi. Ada keadaan darurat. Super darurat. Dia pun lapor ke Jenderal dengan terbata-bata karena panik. Kali ini urusannya adalah soal tinja. Penting betul.

“Urusan tinja sudah menjadi keadaan darurat Jenderal. Bangsa kita lebih memilih WC duduk daripada jongkok,” kata Sersan. Jenderal naik pitam, dulu tidak seperti ini, dia heran bukan main.

“Astaga, apa kau yakin itu. Apa mereka lupa penjajah itu tidak bisa jongkok. Ini keterlaluan, karena bangsa Indonesia dirahmati oleh Tuhan untuk jongkok,” kata Jenderal.

“Kelebihan sendiri ditinggalkan untuk meniru kekurangan orang lain. Catat baik-baik, Sersan, hal ini harus kita perangi!”  

“Itu belum apa-apa, Jenderal. Ada yang lebih darurat!”  

“Apa itu?”  

“Bangsa kita mulai meniru cebok dengan tisu!”  

“Ini sungguh memalukan, bukankah negeri ini dianugerahi air yang melimpah oleh Tuhan. Ini tidak bisa dibiarkan, penyelamatan harus dilakukan,” Sang Jenderal kini sudah memberikan perintah.

“Siap Jenderal!” Sersan nampak sangat sigap. 

Jenderal kemudian memimpin penyelamatan. Sersan membantu di garis depan. Meriam, granat, dan senjata laras panjang disiapkan untuk menyerang gedung-gedung yang menutupi pandangan itu. Misi penyelamatan dimulai.

Setelah senjata ditembakkan ke berbagai penjuru. Jenderal bertanya kepada Sersan apakah sudah ada yang berubah. Sersan memantau lagi, meneropong dari kejauhan. Sersan terdiam sebentar.

“Keadaan bisa dipastikan tidak ada yang berubah sama sekali,” kata Sersan. “Bagaimana bisa?” Tanya Jenderal. “Kita ini hanya pasukan yang sudah tutup usia, yang kita tembakan kata-kata, melemparkan cita-cita.” 

“Aku tahu itu Sersan, cukup, persoalan bangsa hari ini hanya bisa diselesaikan oleh generasi hari ini,” kata dia.

Tiba-tiba arah dua pejuang perang kemerdekaan itu pergi. Tubuh dua pemuda udik itu kembali, mereka sadar kembali. Menyadari tempat itu ternyata angker, mereka kabur ketakutan pulang. 

Adegan itu mengakhiri pentas Rasuk Raga di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kentingan, Jebres, Kota Solo, Senin (25/6/2024) malam. Pentas yang lumayan singkat itu berhasil menghibur dan mengundang tawa penonton. Tidak seperti judulnya yang terkesan seram, ternyata banyak komedi terselip.



Rasuk Raga yang dipentaskan oleh kelompok Teater Qi dari Tegal itu merupakan saduran dari naskah berjudul Hari Gentayangan Nasional karya Idnas Aral, salah seorang seniman dari Kota Solo.

Sutradara pementasan, Rias Viri, mengatakan cerita yang dipentaskan tidak banyak berubah. Rias hanya menambahkan adegan ketika dua orang pria dirasuki arwah. Di naskah aslinya tidak ada Bahasa Jawa dialek Tegal. 

“Karena kami kan orang Tegal, makanya kami masukkan Bahasa Tegal. Di naskah aslinya memang ada [karakter] Jenderal dan Sersan di masa lalu dimana mereka melihat keadaan hari ini. Namun, adegan kerasukan itu merupakan tambahan,” kata dia ketika berbincang dengan Solopos.com selepas pentas, Senin malam.

Sejak kali pertama membaca naskah aslinya, Rias langsung tertarik. Dia langsung membayangkan untuk mementaskannya di panggung. 

Selama pentas, gelagat yang memerankan Jenderal dan Sersan yakni Tutuko Maulida dan Azhar Rifandi membuat penonton tertawa. Rias tidak pernah meniatkan itu sebagai pertunjukan komedi, namun malah berhasil menciptakan situasi yang kocak. Menurutnya karena faktor situasi.

“Naskah aslinya lumayan serius, tapi ketika dibawakan itu menjadi komedi dengan olahan-olahan yang pas. Simpel tapi ketika itu disampaikan dengan timing yang pas bisa lucu,” kata dia.

Menurut dia, karya Idnas Aral, meski menampilkan dialog yang remeh seperti persoalan WC duduk, WC jongkok, dan cebok, namun ada persoalan esensial yang dikritik oleh seniman asal Kota Bengawan itu.

“Seperti yang dia bilang bahwa ‘kelebihan sendiri ditinggalkan untuk meniru kekurangan bangsa lain’. Itu kan sangking banyaknya [kebudayaan dari Barat] yang masuk, sampai membuat gagap untuk menyaring,” kata dia.

Menurut dia, banyak kearifan lokal yang hilang karena kemajuan zaman. Namun di sisi lain, ketika tidak mengikuti perkembangan kita bisa ketinggalan dengan bangsa lainnya dan dianggap terlalu old school. “Orang akhirnya jadi bingung,” kata dia.

Sebelumnya pentas teater, juga disuguhkan pembacaan puisi oleh Faozan Suwage, Venny Zega, dan Angin Utara. Mereka membacakan puisi-puisi milik Piek Ardijanto, seorang  sastrawan angkatan 66, dan Wijati, yang menamakan dirinya Angkatan 00. Istilah “Angkatan 00” adalah judul cerpen AA Navis di majalah sastra Horison, pada 1968. 

Pementasan itu melibatkan orang-orang di balik layar yang juga tergabung dengan Teater Qi yang sudah ada sejak 2004 di Tegal. Seperti produser pentas oleh Rudi Iteng. Musik dalam pentas dimainkan oleh Olis Tejal , Dimas Gilang Maulana, dan Jimmi HC. Lighting oleh Lutfi Muhammad, Setprop oleh Adi Wibowo, dan masih banyak lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya