SOLOPOS.COM - Sejumlah anak sedang bermain di Gedung Serba Guna Pancasila (dulu Gedung Ketoprak Karangasem) yang terletak di Kampung Bangunharjo RW IX, Gandekan, Solo, Sabtu (15/6/2024). Gedung ini merupkan tempat dimana dilangsungkannya pementasan ketoprak tiap malam pada 1960-1990. (Solopos.com/Candra Septian Bantara)

Solopos.com, SOLO–Di Kelurahan Gandekan, Solo, ada sebuah kampung yang dulunya mendapatkan sebutan sebagai Kampung Ketoprak. Kampung tersebut berada di RW IX atau biasa disebut Kampung Bangunharjo.

Sebutan Kampung Ketoprak muncul karena pada  1960 hingga 1990-an di kampung tersebut setiap malam selalu tersaji pertunjukan seni ketoprak. Ditambah ada sejumlah warganya yang ikut tampil di pertunjukan ketoprak yang dilangsungkan di Gedung Ketoprak Karangasem atau yang saat ini berubah nama menjadi Gedung Serba Guna Pancasila.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Tokoh masyarakat sekaligus pelaku sejarah Kampung Ketoprak Gandekan, Y.F Sukasno, 65, bercerita pertunjukan ketoprak di Gandekan rutin digelar sejak 1967.

Hal ini dikarenakan waktu itu hiburan rakyat sangatlah minim, jika pun ada televisi gambarnya masih hitam putih dan dalam satu kelurahan yang punya televisi hanya satu hingga dua orang.

“Dulu itu hiburan warga sangat sedikit. Sebetulnya sudah ada TV tapi masih hitam putih dan kalau mau nonton harus ke rumah salah satu warga. Jadi hiburan yang waktu itu paling mudah diakses semua kalangan ya ketoprak sehingga tidak heran penontonnya selalu membeludak tiap malam,” kata dia saat ditemui Solopos.com di Kantor DPRD Solo, Jumat (14/6/2024).

Menurut Kasno, sapaannya, pertunjukan ketoprak di Gandekan digelar setiap hari dan bahkan saat momen Lebaran digelar dua kali untuk mengakomodasi para pemudik yang pulang kampung. Pertunjukan dimulai pukul 20.00 WIB-24.00 WIB dan para penonton yang hadir diwajibkan memberi tiket sesuai dengan kelas yang dipilih.

“Nonton ketoprak dulu ditiketi dan tiketnya pun ada kelas 1, 2, dan 3. Dan untuk kelas ekonomi duduknya di paling belakang (belakang kelas 3) di atas tribuna,” tambah dia.

Sambil menunggu ketoprak dimulai, dirinya dan teman-temannya masa kecil biasanya memainkan gamelan kerawitan di lokasi pertunjukan. Hal itu dilakukannya sebagai upaya untuk menarik perhatian warga bahwa pementasan ketoprak segera dimulai.

“Saat sore itu juga para pedagang mulai berdatangan di sekitaran gedung ketoprak. Kebanyakan mereka menjual godhogan (rebusan) seperti singkong, kacang, dan rokok,” ujar dia.

Setiap malam, kata dia, grup ketoprak dan lakon yang ditampilkan selalu berbeda-berbeda. Termasuk juga dengan para penampilnya. Beberapa bintang ketoprak waktu itu pun juga pernah hadir di Gandekan salah satunya adalah ayah dari seniman Mamiek Prakoso dan Didi Kempot Alm. Ranto Edi Gudel.

Sayangnya, menurut pria yang juga Ketua Komisi III DPRD Solo tersebut, ketoprak di Gandekan mulai kehilangan pamor pada era 1990-an akhir jelang reformasi. Hal tersebut dikarenakan mulai menjamurnya sejumlah bioskop atau gedung penayangan film kecil di Solo.

Beberapa bioskop yang muncul tersebut di antaranya ada Gedung Bioskop Dedi dan Gedung Bioskop UP di sekitar Pasar Pon, Gedung Bioskop Trisakti di Jl Jenderal Gatot Subroto. Termasuk gedung film kecil seperti Kartika Teater di Beteng, dan Dewi Teater di Mangkubumen.

“Kemunculan tersebut membuat para generasi muda waktu itu berpindah haluan hiburannya ke bioskop. Mereka menonton film-film barat hingga India yang dalam sehari bisa diputar sebanyak 3 kali,” tutur dia.

Semenjak itu, menurut dia ketoprak benar-benar mulai ditinggalkan. Bahkan di Gandekan sendiri sering terjadi gagal pentas karena uang tiket tidak bisa menutup operasional pertunjukan.

“Setelah kejayaan berakhir itu ada beberapa grup ketoprak ada yang bubar, termasuk para pemainnya yang pindah pekerjaan. Blabak (papan) informasi pementasan yang ditulis pakai kapur itu juga sudah mulai jarang dijumpai dan tidak ada lagi tukang woro-woro yang keliling untuk mempromosikan ketoprak,” kata dia.

Dia menilai selain karena faktor adanya bioskop-bioskop, minimnya pementasan ketoprak yang rutin digelar dalam tahun 2000-an itu semakin membuat ketoprak kehilangan penggemar khususnya kawula muda.

“Semoga agar tetap eksis terus ketoprak perlu ada pementasan secara rutin. Sehingga tidak hanya diadakan saat event-event tertentu yang hanya 1-2 kali dalam setahun saja,” papar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya